Sunaryo sejak 2005 kembali bekerja di Dinas Pekerjaan Umjum Kabupaten SragenSunaryo sejak 2005 kembali bekerja di Dinas Pekerjaan Umjum Kabupaten Sragen

Dia sudah mengharumkan nama Kabupaten Sragen di kancah sepak bola nasional. Baik sebagai pemain maupun sudah terjun sebagai pelatih. Hanya di pekerjaan, statusnya tak berubah meski sudah dua dekade dia jalani.

Sidiq Prasetyo I PINGGIR LAPANGAN

Sunaryo sejak 2005 kembali bekerja di Dinas Pekerjaan Umjum Kabupaten Sragen (foto: dokumen sunaryo)

RAMBUTNYA sudah memutih. Bahkan, hampir semuanya sudah berubah. Tubuhnya pun sudah terlihat mulai gemuk. Wajar juga karena usia Sunaryo pada 2025 sudah 52.

Beda dengan di masa jayanya. Waktu di mana nama Sunaryo disebut-sebut dalam kancah sepak bola nasional sebagai salah satu winger lokal berbahaya.

‘’Sejak kecil tepatnya kelas lima sekolah dasar saya sudah bermain bola serius. Saya bergabung dan berlatih di klub Indonesia Muda atau IM Sragen,’’  ucap Sunaryo.

Menurutnya, sepekan dia berlatih empat kali. Dengan tempat latihan di Stadion Taruna, stadion yang sampai sekarang menjadi kebanggaan warga Bumi Sukowati, julukan Kabupaten Sragen.

‘’Saat usia sudah mulai 16, saya dipanggil membela PSISra Sragen bermain di Piala Suratin. Tahun berikutnya juga demikian,’’ ujar Sunaryo.

Hingga pada 1994, bakatnya tercium klub Indocement, Bogor. Klub tersebut menawari Sunaryo bergabung. Dengan resikonya, lelaki lelahiran 1973 tersebut harus melepas pekerjaan di Dinas Pekerjaan Umum atau DPU Kabupaten Sragen.

‘’Sejak 1993, saya sudah bekerja di sana. Namun, statusnya masih honorer atau tidak tetap,’’ kata Sunaryo.

Dia menerima pinangan Indocement bergabung. Resikonya, dia harus meninggalkan kampung halaman.

Saat Indocement merger dengan Perkesa Mataram Jogjakarta, Sunaryo termasuk pemain yang lolos dan bergabung dengan klub yang berganti nama menjadi Mataram Indocement tersebut. Skill dan kemampuan yang dimilikinya ternyata bisa bersaing dengan para pesepak bola di Kompetisi Divisi Utama yang ketika itu menjadi kompetisi sepak bola tertinggi di Indonesia.

Usai dari Mataram Indocement, Sunaryo mulai berkelana ke beberapa klub papan atas Indonesia. Persegi Gianyar dan Persema Malang adalah di antara beberapa klub yang pernah dibela.

‘’Di Persegi, saya harus bersaing dengan pemain-pemain top Indonesia yang dibawa Sutan Harhara dari Persikota Tangerang. Kok kebetulan Sutan pernah menangani saya di Porda Bogor, saya pun bisa bertahan di seleksi yang ketat,’’ kenang Sunaryo.

Begitu juga di Persema. Sunaryo mampu bersaing dengan pemain-pemain lokal Malang yang terkenal mempunyai skill dan kecepatan.

Namun ketika usia sudah mulai berkepala tiga, Sunaryo mulai pulang. Dia bergabung kembali  ke PSISra.

‘’Sempat dipanggil Persipur Purwodadi, tapi kembali lagi setelah itu ke PSISra. Apalagi, sejak 2005, saya kembali bekerja di Dinas Pekerjaan Umum atau PU Sragen,’’ lanjut Sunaryo yang kini dikarunai dua orang anak itu.

Ketika masuk, dia menjadi tenaga honorer. Tapi siapa sangka ketika tahun berganti tahun dan sudah 20 tahun bekerja, status yang diterima Sunaryo tak berubah.

Namun, tidak ada kata mengeluh baginya. Dia tetap menjalani pekerjaan tersebut dengan sebaik mungkin.

‘’Sekarang saya di bagian persetujuan bangunan gedung. Kalau dulu namanya IMB atau izin mendirikan bangunan,’’ papar Sunaryo yang beristrikan seorang guru tersebut.

Selain itu, Sunaryo juga tetap tak pernah berhenti mengharumkan nama daerah dari sepak bola. Meski bukan sebagai pesepak bola lagi tapi sebagai pelatih.

‘’Saya mempunyai sekolah sepak bola dengan nama Karangmalang Football Club atau dikenal dengan nama KFC. Sudah beberapa kali menjadi pemenang di Sragen dan luar Sragen,’’ jelas Sunaryo yang kini sudah berlisensi kepelatih B itu. (*)

By Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *